Kisah Hijrah Ummu Sabrina [ Part 2]
Kisah Hijrah Ummu Sabrina - Setelah 12 jam penerbangan, sekitar jam 5.00 pagi pesawat yang mereka tumpangi transit di kota Doha, Qatar. Keluarga Ummu Sabrina pun menggunakan waktu itu untuk melaksanakan sholat shubuh dan mencari sarapan.
Delay 2 jam !! Seharusnya tepat jam 7.00 waktu setempat pesawat itu harus melanjutkan perjalanan menuju kota Istanbul akan tetapi sang pilot malah menunda untuk melanjutkan perjalanan nya, entah untuk alasan apa... Akhirnya jam 9.00 mereka melanjutkan penerbangannya kembali.
Tepat jam 13.00 waktu Turki, pesawat akhirnya mendarat di Bandar Udara Attaturk. Dan Sekitar jam 16.00 waktu setempat, kembali lagi terbang menuju kota AF. Setelah 5 jam mengudara akhirnya pesawat tiba di kota AF tepat jam 21.00 malam.
Suhu udara waktu itu sekitar 15 derajat celcius. Suhu yang biasanya membuat kucing-kucing mendekati perapian untuk menghangatkan diri.
Setibanya mereka dibandara, ketika hendak menuju wilayah perbatasan Turki - Suriah, mereka tidak menemukan satupun taxi untuk bisa mengantar mereka menuju perbatasan. Sayang sekali disana mereka sulit berkomunikasi dengan warga setempat. Ummu Sabrina mencoba berkomunikasi menggunakan bahasa inggris, akan tetapi warga setempat yang ditemui mereka tidak cakap berkomunikasi dengan bahasa inggris. Tidak adanya taxi dan sulitnya berkomunikasi dengan warga setempat, membuat suasana hati menjadi gundah . Tidak ada yang bisa diandalkan, mereka pun mencari bantuan ke sana kemari dengan menggunakan bahasa “tarzan”.
Akhirnya asa pun bangkit kembali ketika ada salah seorang warga setempat yang bersedia menghantarkan mereka dengan mobilnya. Si pemilik mobil memberi harga €50 atau sekitar 800 ribu rupiah untuk perjalanan menuju perbatasan, rupanya si sopir memanfaatkan keadaan . Padahal,tarif normal angkutan menuju ke perbatasan itu hanya sekitar 200 ribu rupiah. Demi sampai ke tujuan, mereka harus mengeluarkan kocek 800 ribu rupiah.
Yaa ikhwah...., Ummu Sabrina beserta keluarganya berangkat ke suriah secara independent. Seperti wisatawan yang melancong pergi ke luar negeri untuk berwisata. Tidak ada guide atau penunjuk jalan khusus dari Indonesia yang menyertai perjalanan nya.
Kecakapan berbahasa arab mereka pun sangat minim sekali. Bermodalkan tawakal dan semangat juang yang tinggi dan keinginan yang membatu, mereka berani menghadapi segala resiko yang akan mereka hadapi di perjalanan.
Ummu Sabrina pun singgah sejanak di sebuah hotel sederhana, tepatnya di wilayah dekat perbatasan. sejenak beristirahat dari perjalanan panjang yang sangat melelahkan, sembari memikirkan langkah apa yang seharusnya mereka lakukan.
Di hotel sederhana itu, mereka mencoba menghubungi CP (Contact Person) untuk meminta bantuan. Berselang satu hari setelah Ummu Sabrina berhasil menghubungi CP, akhirnya perwakilan dari CP datang menjemput Ummu shabrina beserta keluarganya.
Ummu Sabrina beserta keluarganya dibawa ke sebuah tempat singgah muhajirin yang datang dari berbagai negara. Di tempat tersebut mereka bertemu dengan beberapa orang yang datang dari Belgia dan Maroko. Ummu Sabrina dan keluraga diistirahatkan sejenak di tempat tersebut sekaligus untuk bersiap-siap melewati perbatasan Turki-Suriah.
Malam pun semakin larut, angin yang berhembus kencang semakin menambah dinginnya malam. Musim salju baru saja berakhir, salju-salju itu mulai mencair membasahi tanah, suhu diperkirakan dibawah 10 derajat celcius.
Dipertengahan malam, ummu Sabrina dan muhajirin lainnya dibangunkan dari tidurnya untuk memulai perjalanan melewati perbatasan.
Rasa lelahnya pun tidak mereka hiraukan, Sembari menggendong putra bungsunya yang masih berusia belasan bulan, ummu Sabrina harus berjuang melewati perbatasan yang tidak lepas dari pantauan para penjaga yang dilengkapi senjata.
Ummu sabrina bersama sekitar 20-25 muhajirin dari negara lain mulai berjalan. Ya, ketika itu sangat nampak sekali perbedaan fisik antara muhajirin dari indonesia dengan muhajirin dari negara lain, muhajirin indonesia terlihat pendek jauh dibawah tingginya postur tubuh muhajirin lain nya.
Sementara itu, ransel berat yang digendong oleh Ummu Sabrina membuatnya berada di barisan paling belakang tertinggal jauh dari rombongan. Saat itu sang suami menggendong putra bungsunya, ditambah sebuah tas yang harus dibawa nya, ia tidak bisa berbuat banyak melihat ummu shabrina terbebani oleh ransel yang cukup berat tersebut.
Melihat Ummu Sabrina yang berjalan terhuyung huyung,tertinggal jauh dari barisan, salah seorang ikhwan mengambil alih tas ransel yang cukup berat tersebut....
Bagaimanakah usaha para muhajirin dalam menembus perbatasan Turki - Suriah ?
Berhasilkah mereka malam tersebut ?
Di malam itu, Ummu Sabrina beserta muhajirin lain nya menempuh jalan setapak untuk menuju perbatasan , tanpa penerangan sama sekali, mereka harus melintasi jalan “tikus” tersebut. Terbayang oleh kita semua betapa sulitnya mereka menempuh perjalanan itu.
Para petugas penjaga berpatroli Dengan dilengkapi persenjataan, menyisir kawasan perbatasan, tiba tiba para petugas menangkap gerak gerik Ummu Sabrina beserta rombongan nya. Para petugas itu pun kemudian menghampiri mereka.
Melihat sosok anak dibawah umur dalam rombongan itu, sang petugas penjaga menghurungkan niat untuk menodongkan senjatanya, para penjaga itu mengintrogasi rombongan muhajirin dan memberi pengarahan kepada muhajirin untuk menghentikan niat para muhajirin yang berusaha melewati perbatasan.
“ Suriah bukanlah tempat yang aman, bukan pula tempat tujuan wisata” celoteh salah satu petugas penjaga perbatasan itu.
“kami menuju suriah untuk berjihad, untuk melawan rezim nusairiyyah, membalas sakit hati kaum muslimin .... Anda muslim, syahadat kita sama, anda wajib membantu kaum muslimin, wajib membantu kami untuk melewati perbatasan. Anda akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak “ ikhwan muhajirin mencoba menjelaskan maksud tujuannya .
Sembari meneteskan air mata, sang petugas berkata :
“aku pun muslim... Rasulku Muhammad... syahadat kita sama...
akan tetapi aku harus bertanggung jawab terhadap komandanku yang sedang berada di pos jaga".
Tetap saja, walaupun sudah menjelaskan maksud dan tujuan nya, mereka tetap dilarang melewati perbatasan. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke rumah anshar.
Singkat cerita, mereka dipindah ke rumah anshar yang lain. Ummu Sabrina beserta muhajirin lain nya dipindah ke sebuah rumah yang mirip apartemen. Dirumah itu ummu sabrina ditempatkan di sebuah ruangan khusus bagi akhwat, diruangan itu ummu sabrina bertemu dengan muhajirah yang lebih dahulu stay di rumah tersebut. Dua akhwat muhajiroh dari Australia, satu akhwat dari Belgia dan satu akhwat lagi dari Maroko.
Ummu Sabrina tidak tinggal lama di rumah tersebut, dia beserta yang lain nya berpindah menuju rumah seorang ansar yang jaraknya lebih dekat dengan perbatasan.
Untuk kali kedua, ummu sabrina beserta rombongan muhajirin pun mencoba kembali menembus perbatasan dengan rute yang berbeda. Seperti perjalanan sebelumnya, mereka pun memanfaatkan gelapnya malam untuk mulai melakukan perjalanan mencoba menembus perbatasan. Namun berbeda dengan rute sebelumnya yang berupa jalan “tikus”, kali ini mereka harus berlari untuk sampai ke kawat perbatasan, karena jalan yang akan mereka tempuh berupa ladang yang membentang tanpa penghalang. Mau tidak mau, mereka harus berlari secepat mungkin agar tidak terlihat oleh penjaga perbatasan.
Seperti lari marathon, para muhajirin berlari bersamaan, Ummu sabrina pun berlari dengan sekencang kencangnya sembari memegangi tangan putri nya yang baru berumur 5 tahun. Sementara sang suami berlari dengan tas ransel yang sesak menempel dipunggungnya, sembari menggendong si bungsu yang sedang sakit.
Dengan nafas terengah-engah, ummu sabrina berusaha berlari secepat mungkin, akan tetapi ummu sabrina tetaplah ummu sabrina, seorang wanita paruh baya, dengan kelemahan fisiknya, tidak mungkin dapat berlari secepat sang suami. Ummu sabrina pun tertinggal jauh dari muhajirin lain nya.
Entah karena panik atau tergesa gesa, ketika itu Ummu Sabrina tidak melihat liang parit yang menganga didepannya, ia pun tersungkur jatuh terperosok kedalam parit tersebut.
Ummu sabrina terkejut. Ia perlahan mengangkat tubuhnya dan meraih putrinya, mencoba bangkit untuk melanjutkan jarak tempuh yang tersisa.
Akan tetapi ketika hendak bangkit, ia melihat ikhwan muhajirin ditangkapi oleh petugas penjaga yang berada di dekat pagar kawat berduri.
Ummu sabrina pun mengurungkan niatnya untuk keluar dari parit dan memutuskan untuk tetap bersembunyi didalam parit. Sementara, sang putri meringis menahan sakit akibat terjatuh tadi.
“Teteh ga boleh nangis, kaki teteh sakit ? tahan aja” ummu sabrina berbisik menenangkan putrinya.
Sementara itu muhajirin yang lain sudah berlari hampir mendekati “Finish”.
Ternyata disana sudah ada para petugas penjaga perbatasan yang siap menangkap mereka.
Para muhajir yang lain sudah ditangkapi oleh petugas, sementara ummu sabrina masih tetap bersembunyi diparit tempat ia terjatuh. Seandainya mobil patroli para penjaga itu beranjak mengangkut sang suami dan juga ikhwan yg sudah ditangkap, ia berencana untuk bangkit dan nekat melanjutkan berlari menembus perbatasan walaupun akhirnya ia harus berpisah dengan sang suami dan dua anaknya. Akan tetapi para penjaga itu tidak juga beranjak pergi. Lama menunggu, Ummu sabrina pun akhirnya keluar dari tempat ia bersembunyi dan akhirnya ia pun ditangkap oleh penjaga perbatasan.
Sewajarnya Ummu Sabrina bertanya-tanya tentang apa saja yang telah kita perbuat demi meninggikan agama? Di mana posisi kita diantara manusia terdahulu yang telah membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap taat dan patuh dalam iman, hijrah dan jihad? Bukan hanya harta, nyawapun mereka korbankan. Sanggupkah kita mngikuti jejak mereka ? Apa yang telah kita berikan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah stimulus-stimulus yang membuka mata Ummu Sabrina, menunjukkan posisi-posisi sebenarnya yang sedang genting saat ini sehingga pada gilirannya nanti akan menggugahnya untuk terus melanjutkan perjalanan hijrahnya sambil terus berjuang dan berdo’a.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” “Dan hanya kepada Robbmu lah hendaknya kamu berharap”
Ummu sabrina telah dua kali mencoba menembus perbatasan, tapi belum juga berhasil. Kegagalan kali ini sangat mengguncang jiwanya. Iapun mengadu kepada Allah :
"Yaa Allah tolong bantu aku untuk tepati janji ku..
Aku tidak meminta apa apa lagi...
Aku hanya meminta engkau meridhoi kami untuk berhijrah. ...
Seandainya untuk yg ketiga kalinya kami gagal lagi, aku akan mundur. aku dan anak anaku akan pulang dan akan membiarkan suami berjalan sendiri....
Yaa Allah... aku merasa aku telah menjadi penghambat perjalanan suamiku."
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Hendaklah seorang diantara kalian menjadikan hatinya bersyukur kepada Allah lisannya selalu berdzikir menyebut nama Allah dan mengambil istri yang beriman yang dapat membantu kepentingan akhirat suaminya" ( HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad). Sebagai seorang istri. Alangkah indahnya gambaran yang disebutkan Rasulullah Shallallau ‘alaihi wa sallam tentang sepasang suami istri yang saling membantu dalam ketaatan.
Berselang tiga jam dari percobaan yang kedua, tepatnya Ba’da subuh, Ummu sabrina dan muhajirin lain nya kembali berusaha mencoba menembus perbatasan. Dengan tenaga yang tersisa, ummu sabrina harus berlari tanpa henti menuju perbatasan.
"Wiwww..wwwiiuuww...wiww..." (suara sirine)
Tiba-tiba dipertengahan jalan, sirine berbunyi, pertanda gerak gerik Muhajirin terdeteksi oleh para penjaga. Ummu Sabrina tetap berlari, ia sempat tertatih tatih saat harus melewati parit yg ada. Sembari tetap memegangi tangan putrinya, Ummu Sabrina terus berlari hingga akhirnya mereka pun sampai di kawat perbatasan.
Kawat berduri yang melingkar-lingkar itu sangat rapat. Ummu Sabrina harus bisa melewati kawat berduri tersebut. Pagar kawat bagian bawah pun diangkat, setelah itu ia merangkak melewati kawat kawat yang berduri tajam tersebut.
"bu.... nanti beli sepatu baru yaaa ... " Sabrina menangis merengek, sembari tetap berlari ia meminta dibelikan sepatu baru, karena sepatunya tersangkut di pagar kawat berduri tersebut.
Perjuangan belum usai, ia harus lanjut berlari sekitar 600 meter dari pagar kawat berduri, karena 400 meter dari pagar kawat itu, masih milik pemerintah sekuler Turki dan petugas pun masih mempunyai kewenangan di wilayah tersebut.
Ketika Ummu Sabrina telah berhasil lolos melewati pagar kawat berduri, rentetan tembakan para petugas mulai menghujani ummu sabrina. Sekitar 20 meter lagi menuju “FINISH” ummu sabrina berlari sekuat tenaga.
Masha’ Allah. Ummu Sabrina dan putri tercintanya harus bertahan menghadapi segala penderitaan dan resiko perjuangan, sebab perjuangan menuntut pengorbanan. Tahukah kita apa yang pertama kali harus dikorbankan seorang muhajirin ? Perasaannya!!! Ya, yang paling pertama ia akan rasakan adalah “korban perasaan”, jika dengan itu ia tabah, ia akan berhadapan dengan hal lain yang menuntut “pengorbanan tenaga” meningkat pada “pengorbanan harta”, hingga akhirnya “pengorbanan jiwa” sekalipun saat jalan mulia ini dihalangi oleh thogut-thogut dan kaum munafiqin dimuka bumi.
***
“ALLAHU AKBAAAR !!!”
Teriakan takbir ummu sabrina melepas semua beban, jerih payah dan rasa lelah. itulah Takbir kemenangan, luapan emosi dan kebahagian .
Ummu sabrina telah berhasil menginjakan kaki untuk pertama kali nya di wilayah Daulah Islam, tepatnya di pinggiran kota Raqqah. Alhamdulillah.....
Ummu sabrina menghampiri Sang suami dan putra putrinya, kemudian memeluk sang suami beserta anak anaknya. Suasana haru bercampur bahagia. Ummu sabrina menangis sejadi jadinya. Sungguh sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata kata.
Subhanallah wal hamdulillah.... Allahu Akbar.....
“ Udah jangan nangis, Allah ridha kita hijrah ke sham” ucap sang suami .
Ummu sabrina beserta rombongan muhajirin pun terus berjalan menyusuri pinggiran kota Raqqah sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pengendara motor yang membawa klashinkov. Ternyata sang pengendara itu adalah salah satu tentara daulah islam.
(ummu sabrina menceritakan kepada kami : kalau tidak salah tentara daulah itu bertanya : mau kemana ??? trus kami jawab : kami muhajirin yang mau ke daulah. terus tentara daulah itu bertanya lagi,” atas rekomendasi siapa??” kami jawab “ atas rekomendasi Abu Fulan. Setelah ada konfirmasi, dia bilang “Tunggu !!” Trus tentara daulah itu pergi dan kami pun lanjut jalan. )
Tidak lama kemudian, datang sebuah mobil Van dan sebuah mobil Pick up milik daulah islam untuk menjemput rombongan muhajirin. Ummu sabrina beserta putri dan muhajiroh lain nya menaiki mobil VAN, sedangkan muhajirin menaiki mobil pick up. Ya, laki laki dipisahkan dengan wanita untuk menghindari Ikhtilat. Didalam mobil itu , Ummu sabrina masih saja tidak bisa menahan air matanya, semakin deras ia meneteskan air mata .
Disepanjang perjalanan Ummu Sabrina tak hentinya meneteskan air mata. Ketika air tangisan nya mulai mereda, di tengah perjalanan, ia melihat bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid, berkibar diterpa angin dipinggiran jalan. Air matanya pun kembali mengalir dan lebih deras mengalir.
Bendera yang dahulu ia lihat hanya sebatas di video dan foto foto, kini terpangpang nyata terlihat oleh ummu sabrina. Ia sempat tidak percaya bahwa akhirnya ia bisa menghirup udara bumi Syam, hidup ditengah tengah Mujahidin Daulah Islam iraq dan Sham. (sekarang bumi Khilafah Islamiyah)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 2 : 218)
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia. (QS;8:74)
***
Semenjak itu... Ummu sabrina dan sang suami terpisah.
Ummu Sabrina bersama putra putrinya tinggal di sebuah rumah yg disediakan oleh Daulah Islam sebagai tempat tinggal muhajirin, sedangkan sang suami harus tinggal di camp pelatihan untuk mengikuti pelatihan militer.
Yaaa, semua itu membutuhkan kesabaran dan ketabahan yang super extra, tempat tinggal baru dengan kebudayaan dan kebiasaan yang benar-benar berbeda. Tidak adanya suami tempat berkeluh kesah, yang ada hanyalah Allah tempat memohon pertolongan.
Perlu kita ketahui bersama, Ummu shabrina berhijrah tanpa pemandu, mereka berangkat berhijrah secara INDEPENDENT. ia pun tidak menguasai bahasa arab. Hanya bermodalkan Iman dan Totalitas menjalankan perintah Allah, Ia tidak mempunyai kenalan orang indonesia disana, ia hanya mengandalkan twitter, untuk mencari informasi .
Ummu Sabrina berpesan kepada kita semua untuk mengazamkan diri berhijrah ke daulah islam. Tidak usah ragu-ragu, walaupun memang harus tetap waspada.
Semoga Kisah ini bisa menginspirasi kita semua dan menjadi pelajaran berharga bagi kita yg belum mampu berhijrah.
Walhamdulillahi Rabbil Aalamiin
0 Response to "Kisah Hijrah Ummu Sabrina [ Part 2]"
Posting Komentar