Hijrah Menuju Ridha Allah
Hijrah Menuju Ridha Allah - Menurut Ibnu Qayyim dalam Zadu Al-Muhajir mengatakan, penggunaan kedua kata al birr dan at taqwa dalam surah Al-Maidah ayat 2, tidak bisa disamakan. Kata al birr mencakup semua bentuk kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari diri seorang hamba. Lawan katanya ialah al itsm, atau kejahatan.
Dengan definisi ini, seluruh kebajikan tak terkecuali iman dan takwa dikategorikan al-birr. Sedangkan yang dimaksud takwa, pada hakikatnya ialah melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jalan yang mengantarkan hamba menuju kesempurnaan dan ketakwaan. Itulah takwa.
Thaliq bin Habib pernah meminta agar memadamkan fitnah dengan ketakwaan. Ketika ditanya, seperti apa takwa yang dimaksud? “Menaati Allah dengan cahaya-Nya, mengharap ganjaran, dan meninggalkan maksiat dengan cahaya-Nya, takut akan siksa,” kata Thaliq bin Thaliq, tokoh asal Basrah yang pernah dituding penganut ideologi Murjiah ini.
Berdasarkan ayat di atas, menurut Ibnu Qayyim, konteks pemaknaan tolong-menolong bagi sesama hamba ialah meningkatkan rasa empati dan saling bekerja sama di berbagai hal kebaikan serta meninggalkan keburukan. Dalam konteks hubungan antara hamba dan Allah lebih berarti menaati segala perintah dan tidak terjerumus melanggar larangan-Nya.
Di titik inilah, dibutuhkan kecerdasan dan kepekaan seorang hamba. Berbuat baik kepada sesama manusia, hanya bisa dilakukan dengan menempatkan diri secara proporsional. Bertakwa kepada Allah, tak ada kata lain kecuali dilakukan dengan penuh keikhlasan, cinta, dan pengorbanan.
Dan, titik tersebut menjadi fondasi dasar untuk sebuah misi besar, hijrah menuju ridha Allah melalui hijrah kepada Allah dan Rasulnya. Menurut Ibnu Qayyim yang merupakan murid fanatik ulama abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyyah, prosesi hijrah adalah kewajiban bagi setiap hamba, kapan dan di manapun ia berada.
Bobot kewajiban keduanya, sama-sama kuat dan tidak bisa di pisahkan. Maksud hijrah di sini, tak sekadar hijrah dalam arti bahasa dan tradisi yang berlaku di masyarakat, yaitu pindah secara fisik dari satu tempat ke lokasi lain. Melainkan, hijrah kepada Allah dan Rasulnya yang berarti memalingkan dan memusatkan hati kepada Dzat Maha Esa dan Rasulullah. “Inilah hakikat makna berhijrah,” tulis Ibnu Qayyim.
Ia pun menggarisbawahi bahwa kata hijrah telah direduksi oleh se bagian kalangan dengan memaknai nya sebatas pada hijrah dari negara non-Muslim menuju daerah Muslim serta hijrah kembali ke Mak kah pascapenaklukan kota suci tersebut.
Hijrah semacam ini, ia sebut sebagai hijrah temporal dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan jiwa dan pribadi seseorang sepanjang hidupnya. Hijrah kepada Allah dan Rasul yang menjadi kewajiban selama hayat di kandung badan. Dan, hijrah seperti ini tak bisa direkayasa dan dimanipulasi seseorang.
Dengan definisi ini, seluruh kebajikan tak terkecuali iman dan takwa dikategorikan al-birr. Sedangkan yang dimaksud takwa, pada hakikatnya ialah melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jalan yang mengantarkan hamba menuju kesempurnaan dan ketakwaan. Itulah takwa.
Thaliq bin Habib pernah meminta agar memadamkan fitnah dengan ketakwaan. Ketika ditanya, seperti apa takwa yang dimaksud? “Menaati Allah dengan cahaya-Nya, mengharap ganjaran, dan meninggalkan maksiat dengan cahaya-Nya, takut akan siksa,” kata Thaliq bin Thaliq, tokoh asal Basrah yang pernah dituding penganut ideologi Murjiah ini.
Berdasarkan ayat di atas, menurut Ibnu Qayyim, konteks pemaknaan tolong-menolong bagi sesama hamba ialah meningkatkan rasa empati dan saling bekerja sama di berbagai hal kebaikan serta meninggalkan keburukan. Dalam konteks hubungan antara hamba dan Allah lebih berarti menaati segala perintah dan tidak terjerumus melanggar larangan-Nya.
Di titik inilah, dibutuhkan kecerdasan dan kepekaan seorang hamba. Berbuat baik kepada sesama manusia, hanya bisa dilakukan dengan menempatkan diri secara proporsional. Bertakwa kepada Allah, tak ada kata lain kecuali dilakukan dengan penuh keikhlasan, cinta, dan pengorbanan.
Dan, titik tersebut menjadi fondasi dasar untuk sebuah misi besar, hijrah menuju ridha Allah melalui hijrah kepada Allah dan Rasulnya. Menurut Ibnu Qayyim yang merupakan murid fanatik ulama abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyyah, prosesi hijrah adalah kewajiban bagi setiap hamba, kapan dan di manapun ia berada.
Bobot kewajiban keduanya, sama-sama kuat dan tidak bisa di pisahkan. Maksud hijrah di sini, tak sekadar hijrah dalam arti bahasa dan tradisi yang berlaku di masyarakat, yaitu pindah secara fisik dari satu tempat ke lokasi lain. Melainkan, hijrah kepada Allah dan Rasulnya yang berarti memalingkan dan memusatkan hati kepada Dzat Maha Esa dan Rasulullah. “Inilah hakikat makna berhijrah,” tulis Ibnu Qayyim.
Ia pun menggarisbawahi bahwa kata hijrah telah direduksi oleh se bagian kalangan dengan memaknai nya sebatas pada hijrah dari negara non-Muslim menuju daerah Muslim serta hijrah kembali ke Mak kah pascapenaklukan kota suci tersebut.
Hijrah semacam ini, ia sebut sebagai hijrah temporal dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan jiwa dan pribadi seseorang sepanjang hidupnya. Hijrah kepada Allah dan Rasul yang menjadi kewajiban selama hayat di kandung badan. Dan, hijrah seperti ini tak bisa direkayasa dan dimanipulasi seseorang.
Sumber : http://khazanah.republika.co.id
0 Response to " Hijrah Menuju Ridha Allah"
Posting Komentar